TENTANG KAMI

Kesultanan Sumbawa

Kesultanan Sumbawa resmi berdiri pada tanggal 14 Dzulqaidah 1050 H atau bertepatan dengan 30 November 1648. Wilayah hukum Kesultanan Sumbawa terbentang dari timur ke barat yaitu dari Empang/Tarano hingga Jereweh/Sekongkang dengan luas daratan lebih kurang 8493 Km2. Saat ini, wilayah tersebut meliputi dua kabupaten yaitu Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat. Ibukota Kesultanan Sumbawa tempo dulu terletak di Samawa Rea atau dikenal juga dengan sebutan Samawa Datu, yang saat ini merupakan kota Sumbawa Besar.

Dalam struktur kekuasaannya, Kesultanan Sumbawa memiliki tiga daerah/kedatuan vasal yakni: Kedatuan Taliwang, Kedatuan Seran, dan Kedatuan Jereweh. Ketiga Kedatuan ini dikenal dengan sebutan Kamutar Telu.

Selain memiliki tiga daerah vasal, Kesultanan Sumbawa terbagi pula dalam Daerah Pangantong yakni wilayah yang dibagi tanggung jawab pengurusannya kepada lembaga pemerintahan yaitu Majelis Pangantong Lima Olas.

Dalam menjalani roda pemerintahan, Sultan Sumbawa didampingi oleh Pangantong Lima Olas, yakni Majelis Pemerintahan yang terdiri dari:

  1. Menteri Telu (Majelis Tiga Menteri),

  2. Mamanca Lima (Majelis Lima Manca), dan

  3. Lelurah Pitu (Majelis Tujuh Lelurah)

Kesultanan Sumbawa melakukan kerjasama ekonomi dan pemerintahan dengan Kerajaan Gowa Tallo, Kesultanan Bima, dan Kerajaan atau Kesultanan lain dalam wilayah Nusantara. Eksistensi Kesultanan Sumbawa telah melalui sejarah panjang dan telah melampaui pasang surut sesuai dengan kehendak zaman, sehingga keberadaannya saat ini telah teruji oleh waktu. Sebelum bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Kesultanan Sumbawa merupakan salah satu Kesultanan Islam yang besar dan berjaya di bagian tenggara Nusantara.

Di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Amaroellah (1837 - 1883), Kesultanan Sumbawa berkembang menjadi salah satu kesultanan yang makmur di bidang pertanian dan perdagangan maritim yang ditandai dengan ditanamnya bibit kopi di pegunungan Batu Lanteh, pengembangbiakkan bibit sapi di Pulau Moyo, dan mengirimkan para ulama untuk belajar ke Mekkah dan Timur Tengah.  

Pada masa Sultan Muhammad Djalaluddin III (1883 – 1931), Kesultanan Sumbawa menempatkan posisinya di bidang ekonomi dan politik yang sejajar dengan kekuatan kolonial Pemerintah Hindia Belanda berkat diplomasi antar negara yang telah dipraktikkan.  

Sedangkan pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Kaharuddin III (1931 – 1959) tantangan zaman menghendaki kebijaksanaan yang berbeda pula. Tahun 1931 merupakan tahun dilaksanakannya Penobatan Sultan Sumbawa sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perang Dunia II melanda seluruh dunia, sehingga sangat mempengaruhi kekuatan monarki secara global, begitu pula yang dialami oleh kesultanan-kesultanan di seluruh Nusantara. Lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai sebuah entitas baru dalam tata pemerintahan membuat Kesultanan Sumbawa pun harus beradaptasi sesuai kehendak zaman. Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, menjadi tonggak perubahan zaman yang harus disikapi dengan kebijaksanaan yang berlandaskan pada hasil pemikiran yang jernih dan menyeluruh.

Berdasarkan aspirasi rakyat Sumbawa, Sultan Muhammad Kaharuddin III membawa Kesultanan Sumbawa di masa transisi dari sistem monarki Kesultanan Sumbawa menuju Republik Indonesia. Kesultanan Sumbawa menyatakan diri bergabung dengan Republik Indonesia pada tanggal 13 April 1950 berdasarkan Surat Pernyataan (Statement) bersama Pemerintah Daerah Pulau yang terdiri dari Swapraja Sumbawa, Swapraja Bima, dan Swapraja Dompu. Kesultanan Sumbawa bertransformasi menjadi Kabupaten Sumbawa pada tahun 1959.

Delapan puluh tahun kemudian setelah penobatan Sultan Muhammad Kaharuddin III tahun 1931, kehendak zaman berpihak pada otonomi daerah dimana kewenangan pengelolaan sumberdaya alam dan budaya menjadi tanggung jawab daerah itu sendiri. Bertahun-tahun masyarakat Sumbawa menyampaikan aspirasinya kepada Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) agar sosok Sultan sebagai Puin Rea (pengayom) bagi Tau Tana Samawa perlu dimunculkan kembali. Perwujudan dari aspirasi ini adalah terselenggaranya Penobatan Muhammad Abdurrahman Daeng Raja Dewa, Datu Raja Muda Kesultanan Sumbawa yang telah dikukuhkan saat beliau lahir pada 5 April 1941 sebagai Sultan Sumbawa XVIII yang bergelar Dewa Masmawa Muhammad Kaharuddin IV.

Penobatan ini bertujuan untuk pelestarian budaya dan sekaligus revitalisasi Adat Istiadat dan Budaya Tau ke Tana Samawa. Penobatan ini berakar pada adat istiadat dan budaya Kesultanan Sumbawa yang mulai dibangkitkan kembali pada tanggal 5 April 2011 yaitu momen dimana Sultan Sumbawa XVIII dinobatkan. Sebelas tahun kemudian, sesuai dengan salah satu rekomendasi dari Mudzakarah Rea Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) tahun 2022 yang mengamanatkan kepada Sultan Muhammad Kaharuddin IV untuk mempimpin pelestarian dan pengembangan budaya dan adat Tau Tana Samawa, pengejawantahan dari Adat Barenti Lako Syara’, Syara’ Barenti Lako Kitabullah menuju masyarakat yang religius, modern, dan demokratis, dibutuhkan kepastian akan adanya keberlanjutan penerus Kesultanan Sumbawa.

Sejalan dengan rekomendasi Mudzakarah Rea LATS tahun 2022, untuk memastikan adanya keberlanjutan pelestarian nilai-nilai peradaban Tau ke Tana Samawa dipandang penting dan perlu untuk menjamin terlaksananya proses pewarisan pemangku Kesultanan Sumbawa di masa yang akan datang dengan memperhatikan tradisi, adat, dan rapang yang telah berlaku turun-temurun di Kesultanan Sumbawa sehingga penting dan perlu dilakukan pengangkatan Datu Rajamuda (Putra Mahkota) Kesultanan Sumbawa.

Salah satu prosesi adat yang ditempuh oleh penerus Kesultanan Sumbawa sebelum Pengangkatan Datu Rajamuda (DRM) adalah Penganugerahan Gelar Adat dan Gelar Kebangsawanan Kepada Puteri, Menantu, dan Cucu dari Dewa Masmawa Sultan Sumbawa XVIII, Sultan Muhammad Kaharuddin IV yang dilaksanakan pada tanggal 27 Rajab 1444 H atau tanggal 17 Februari 2023 lalu. Tahapan selanjutnya adalah pelaksanaan upacara adat Pengangkatan Datu Rajamuda Kesultanan Sumbawa yang dilaksanakan pada tanggal 27 – 29 Mei 2024 yang bertempat di Istana Dalam Loka dan Istana Bala Kuning.

Sumber: Majelis Adat LATS

  • Share on :